untung99.art

untung99.art: Mengenang 64 Tahun Abdul Muis Wafat Sastrawan Wartawan dan Pahlawan Nasional


Untung99 menawarkan beragam permainan yang menarik, termasuk slot online, poker, roulette, blackjack, dan taruhan olahraga langsung. Dengan koleksi permainan yang lengkap dan terus diperbarui, pemain memiliki banyak pilihan untuk menjaga kegembiraan mereka. Selain itu, Untung99 juga menyediakan bonus dan promosi menarik yang meningkatkan peluang kemenangan dan memberikan nilai tambah kepada pemain.

Berikut adalah artikel atau berita tentang Harian untung99.art dengan judul untung99.art: Mengenang 64 Tahun Abdul Muis Wafat Sastrawan Wartawan dan Pahlawan Nasional yang telah tayang di untung99.art terimakasih telah menyimak. Bila ada masukan atau komplain mengenai artikel berikut silahkan hubungi email kami di koresponden@untung99.art, Terimakasih.

TEMPO.CO, Jakarta Sastrawan, politikus dan wartawan Indonesia, Abdul Muis meninggal dunia di Bandung pada tanggal 17 Juni 1959 dalam usia 76 tahun, yang kelak diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pahlawan Cikutra, Bandung, Jawa Barat.

Karena sepak terjangnya, Abdul Muis telah menerima sejumlah penghargaan. Ia merupakan orang pertama yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Selain itu, ia juga dianugerahi dengan penghargaan Bintang Mahaputra kelas III. Berikut profil selengkapnya. 

Profil Abdul Muis

Mengutip laman Kemdikbud, Abdul Muis lahir pada 3 Juni 1883 di Bukittinggi, Sumatra Barat. Seperti halnya orang Minangkabau, Abdul Muis memiliki jiwa petualang yang tinggi. Sejak remaja, ia sudah merantau ke Pulau Jawa. Bahkan, masa tuanya pun dihabiskannya di perantauan.

Abdul Muis merupakan lulusan Eur. Lagere School (ELS). Ia pernah belajar di Stovia selama tiga setengah tahun (1900–1902). Namun, karena sakit, ia keluar dari sekolah kedokteran tersebut. Pada 1917 ia pergi ke negeri Belanda untuk menambah ilmunya

Meskipun hanya berijazah ujian amtenar kecil (klein ambtenaars examen) dan ELS, Abdul Muis memiliki kemampuan berbahasa Belanda yang baik, Bahkan dianggap melebihi rata-rata orang Belanda itu sendiri.

Oleh karena itu, begitu keluar dan Stovia, ia diangkat menjadi kierk atau pekerja kantoran di Departement van Onderwijs en Eredienst yang membawahi Stovia. Ia menjadi orang Indonesia pertama yang mendapat kesempatan itu.

Namun, pengangkatannya menjadi kierk tidak disukai oleh pegawai Belanda lainnya. Hal itu membuat Abdul Muis tidak betah bekerja. Akhirnya, pada 1905 ia keluar dari departemen itu setelah bekerja selama Iebih kurang dua setengah tahun.

Sekeluarnya dari sana, Abdul Muis sempat menekuni berbagai macam pekerjaan, baik di bidang sastra, jurnalistik. maupun politik. Pada 1905 ia diterima sebagai anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia, sebuah majalah yang banyak memuat berita politik di Bandung.

Karena pada 1907 Bintang Hindia dilarang terbit, Abdul Muis pindah kerja ke Bandungsche Afdeelingsbank sebagai mantri lumbung. Pekerjaan itu ditekuninya selama lima tahun, sebelum ia diberhentikan dengan hormat karena cekcok pejabat belanda pada 1912.

Ia kemudian bekerja di De Prianger Bode, sebuah surat kabar harian Belanda yang terbit di Bandung, sebagal korektor. Dalam tiga bulan, ia diangkat menjadi hoofdcorrector (korektor kepala) karena mempunyai kemampuan berbahasa Belandanya yang baik.

Pada 1913 Abdul Muis keluar dan De Prianger Bode. Setelahnya, bersama dengan A.H. Wignyadisastra, Ia dipercaya memimpin Kaum Muda, salah satu surat kabar milik SI yang terbit di Bandung.

Pada tahun yang sama, atas inisiatif dr. Cipto Mangunkusumo, Abdul Muis bersama dengan Wignyadisastra dan Suwardi Suryaningrat membentuk Komite Bumi Putra untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda serta untuk mendesak Ratu Belanda agar memberikan kebebasan bagi bangsa Indonesia dalam berpolitik dan bernegara.

Pada zaman pergerakan, bersama dengan H.O.S. Cokroaminoto, Abdul Muis berjuang memimpin Serikat Islam. Pada 1917 ia dipercaya sebagai utusan SI ke Belanda untuk mempropagandakan Comite Indie Weerbaar.

Pada 1918, sekembalinya dari Belanda, Abdul Muis pindah ke harian Neraca karena Kaum Muda telah diambil alih oleh Politiek Economische Bond, sebuah gerakan politik Belanda di bawah pimpinan Residen Engelenberg. Pada tahun 1918 Abdul Muis menjadi anggota dewan Volksraad (Dewan Rakyat Jajahan).

Perjuangan Abdul Muis tidak berhenti sampal di situ. Bersama dengan tokoh lainnya, Abdul Muis terus berjuang menentang penjajah Belanda. Pada 1922, misalnya, ia memimpinPerkumpulan Pegawal Pegadaian Bumiputra (PPPB) mengadakan pemogokan di Yogyakarta.

Setahun kemudian, ia memimpin gerakan memprotes aturan landrentestelsel (Undang-Undang Pengawasan Tanah) yang akan diberlakukan oleh Belanda di Sumatra Barat. Ia juga masih tetap memimpin harian Utusan Melayu dan Perobahan. Melalui kedua surat kabar tersebut ia terus melancarkan serangannya.

Oleh pemerintah Belanda tindakan Abdul Muis tersebut dianggap dapat mengganggu ketenteraman dan ketertiban masyarakat. OIeh karena itu, pada 1926 Abdul Muis ‘dikeluarkan’ dari daerah luar Jawa dan Madura. Akibatnya, selama Iebih kurang tiga belas tahun, ia tidak diperbolehkan meninggalkan Pulau Jawa.

Meski demikian, Abdul Muis menolak berhenti berjuang. Ia kemudian mendirikan harian Kaum Kita di Bandung dan Mimbar Rakyat di Garut. Namun, kedua surat kabar tersebut tidak berumur panjang.

Di samping dunia pers, Abdul Muis juga aktif di dunia politik. Pada 1926, dengan disokong Serikat Islam, ia terpilih menjadi anggota Regentschapsraad Garut. Enam tahun kemudian, ia diangkat menjadi Regentschapsraad Gontroleur. Jabatan itu diembannya hingga Jepang masuk ke Indonesia.

Di masa pendudukan Jepang, Abdul Muis masih kuat bekerja meskipun penyakit darah tinggi mulai menggerogotinya. Oleh Jepang, ia diangkat sebgai pegawai sociale zaken ‘. Karena sudah merasa tua, pada 1944 Abdul Muis berhenti bekerja. Namun, pada zaman pascaprokiamasi, ia aktif kembali dan ikut bergabung dalam Majelis Persatuan Perjuangan Priangan. Bahkan, ia pernah pula diminta untuk menjadi anggota DPA.

Sebagai sastrawan, Abdul Muis menghasilkan empat buah novel/roman dan beberapa karya terjemahan. Salah satu karyanya, yakni Salah Asuhan, dianggap sebagal corak baru penulisan prosa pada saat itu. Jika pada saat itu sebagian besar pengarang selalu menyajikan tema lama: pertentangan kaum tua dengan kaum muda, kawin paksa, dan adat istiadat, Salah Asuhan menampilkan masalah konflik pribadi: dendam, cinta, dan cita-cita.

Pilihan editor : 7 Pahlawan Nasional yang Lahir di Bulan Juni: Ahmad Yani sampai Pattimura, Termasuk Ayah Gus Dur