untung99.art: Detikdetik yang Menegangkan Drama Saat Penyusunan Teks Proklamasi
Untung99 menawarkan beragam permainan yang menarik, termasuk slot online, poker, roulette, blackjack, dan taruhan olahraga langsung. Dengan koleksi permainan yang lengkap dan terus diperbarui, pemain memiliki banyak pilihan untuk menjaga kegembiraan mereka. Selain itu, Untung99 juga menyediakan bonus dan promosi menarik yang meningkatkan peluang kemenangan dan memberikan nilai tambah kepada pemain.
Berikut adalah artikel atau berita tentang Harian untung99.art dengan judul untung99.art: Detikdetik yang Menegangkan Drama Saat Penyusunan Teks Proklamasi yang telah tayang di untung99.art terimakasih telah menyimak. Bila ada masukan atau komplain mengenai artikel berikut silahkan hubungi email kami di koresponden@untung99.art, Terimakasih.
KOMPAS.com – Penyusunan teks proklamasi yang dibacakan setiap upacara HUT Republik Indonesia punya cerita tersendiri. Sebab, penyusunan teks proklamasi menjadi rangkaian dari detik-detik bersejarah kala Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.
Saat itu, pada 16 Agustus 1945 di rumah seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang, Laksamana Maeda, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI mengadakan rapat luar biasa.
Ketegangan pertama tentu disebabkan oleh lokasi rapat yang merupakan rumah milik perwira tinggi musuh. Jepang saat itu mengaku kalah dari Sekutu dan diperintahkan menjaga status quo di Indonesia hingga tentara Sekutu yang dipimpin Inggris datang.
Laksamana Maeda pun menyadari risiko yang menantinya. Ia dapat disalahkan oleh pihak Sekutu lantaran mengizinkan para tokoh kemerdekaan Indonesia menggunakan rumahnya untuk berunding mempersiapkan kemerdekaan.
Ia bisa dihukum gantung lantaran melanggar perjanjian internasional antara Jepang dan Sekutu. Saat itu, ketika rapat digelar, ia berada di rumah dan memilih untuk tidur di kamarnya.
Baca juga: Mengapa Rumah Laksamana Maeda Dipilih sebagai Lokasi Penyusunan Teks Proklamasi?
Ketegangan semakin bertambah karena di malam sebelumnya terjadi pertentangan antara golongan muda dan golongan tua soal waktu yang tepat dalam memproklamasikan kemerdekaan.
Ketegangan tersebut terwujud dalam Peristiwa Rengasdengklok, saat golongan muda “menculik” Soekarno dan Mohamad Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
“Keadaan yang mendesak memaksa kita semua mempercepat proklamasi kemerdekaan,” ujar Soekarno, sebagaimana dikutip dalam buku Seputar Proklamasi Kemerdekaan (2015) pada bab penyusunan teks proklamasi yang ditulis P Swantoro.
“Sekarang kita sudah memiliki rencana naskahnya dan saya harap saudara-saudara sekalian dapat menyetujuinya. Sehingga, kita dapat melangkah lebih lanjut dan menyelesaikan soal ini sebelum fajar menyingsing,” kata Soekarno.
Baca juga: Cerita Naskah Proklamasi dan Mesin Tik Milik Perwira Nazi
Kalimat pertama teks proklamasi berasal dari pembukaan UUD 1945 yang belum disahkan.
Isinya: “Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan keinginan yang luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
Bagian itu kemudian dipangkas menjadi lebih tegas sehingga berbunyi: “Kami Bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.”
Setelah mendengar kalimat itu, M Hatta pun menyatakan gagasannya. Menurut dia, kalimat itu saja tidak cukup karena tak secara tegas menunjukan gagasan pemindahan kekuasaan dari Jepang kepada Indonesia.
Akhirnya dituliskanlah kalimat berikut: “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.
Baca juga: Kisah Tiga Pengibar Merah Putih Saat Proklamasi 17 Agustus 1945
Namun, kalimat kedua itu ditentang oleh golongan muda yang diwakili Sukarni.
Menurut dia kalimat itu kurang revolusioner karena seolah menunjukan Indonesia memperoleh kemerdekaan lantaran sudah ada perjanjian dari Jepang. Padahal, menurut Sukarni dan golongan muda, kemerdekaan Indonesia tak diperoleh lewat cara itu.
Pidato Sukarni yang menggebu-gebu itu memang menarik perhatian para pemuda yang hadir dalam rapat penyusunan teks proklamasi tetapi hanya sesaat. Tak lama setelah itu, golongan tua kembali menguasai keadaan.
“Kita sependapat justru terlalu banyak yang terbengkalai kalau kita hanya terlibat dalam argumentasi-argumentasi penuh emosi. Kita sudah mencapai satu hasil penting; persetujuan diam-diam pihak Jepang. Mengapa akan kita lepaskannya lagi hanya karena penggunaan kata-kata yang mungkin dapat mengakibatkan perubahan sikap mereka,” kata Subardjo yang juga hadir dalam rapat.
Ketegangan berikutnya muncul setelah naskah disepakati. Kali ini muncul pertanyaan, siapa yang menandatangani teks tersebut?
Awalnya, muncul gagasan dari Sukarni agar teks proklamasi ditandatangani semua yang hadir saat penyusunan teks. Namun, belakangan, ide itu ditolak sendiri oleh Sukarni.
Sebab, Sukarni menilai tak semua yang hadir, khususnya mereka di luar kelompoknya, berkontribusi dalam menyusun teks.
Baca juga: Kisah Upacara Proklamasi di Pegangsaan Timur 56 dan Prapatan 10
Ada pula tambahan masukan dari Soekarno agar teks ditandatangani dengan frase wakil-wakil bangsa Indonesia. Namun, usul itu tak mungkin dilakukan karena hanya mengarah pada anggota PPKI. Sedangkan yang hadir dalam penyusunan teks tak hanya anggota PPKI.
Di tengah kebuntuan, Sayuti Melik yang dikenal sebagai penghubung antara golongan tua dan muda, menyampaikan usulan yang dapat diterima kedua belah pihak.
“Saya kira tidak akan ada yang menentang kalau Soekarno dan Hatta yang menandatangani proklamasi atas nama Bangsa Indonesia,” ujar Sayuti.
Usulan Sayuti itu akhirnya disambut baik dan disetujui secara aklamasi, diiringi tepuk tangan.
Jadilah dua serangkai proklamator kemerdekaan Indonesia, Soekarno dan Hatta yang menandatangani naskah bersejarah itu.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.